Berdasarkan data resmi dari Badan Pusat Statistik, jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 2010 adalah sebanyak 237.641.326 jiwa. Saya percaya, dari sekian ratus juta
jiwa penduduk Indonesia, lebih dari separuhnya, bahkan mungkin hampir semuanya
adalah orang-orang baik yang
senantiasa bekerja keras dengan jujur untuk menyambung hidupnya dan sekaligus
juga berkontribusi bagi kemajuan negeri ini.
Ilustrasi Bendera Indonesia by Gary Tamin |
Kontribusi tidak langsung itu detik per detik secara tak sadar mereka lakukan, ketika mereka menunaikan pekerjaan mereka dengan sebaik-baiknya. Mengingat identitas Indonesia sebagai negara agraris, marilah kita menilik contoh nyata bentuk kontribusi tidak langsung para petani dan nelayan sebagai tulang punggung ekonomi kita:
Petani yang tak kenal lelah bergulat dengan teriknya matahari mencangkul dan membajak lahannya, demi memastikan panen berbagai bahan pangan yang dinikmati oleh kita di hidangan meja makan sehari-hari.
Nelayan yang tiap malam berjibaku
melawan ombak, mengusir pilunya deru angin malam yang bertiup, demi menangkap
ikan laut, yang kelak akan diolah dan dihidangkan tepat di hadapan kita, pun
yang kelak akan diekspor dan memberikan devisa bagi negeri ini.
Apakah kita hanya melihat dengan
sebelah mata mereka-mereka ini yang berjuang keras demi hidangan lezat yang
kita nikmati setiap harinya?
Adapun, kontribusi secara langsung
salah satu wujud konkretnya adalah dengan membayar pajak sesuai kewajiban kita.
Pajak yang kita bayar inilah yang kelak dibelanjakan untuk membiayai kebutuhan
negeri ini, seperti mendanai pembangunan jalan raya, transportasi umum,
membayar gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan masih banyak lagi.
Maka bila kita protes mengapa negeri ini berhutang ke luar negeri secara terus menerus, sudah selayaknya kita bercermin, "Sudahkah kita membayar pajak sesuai kewajiban yang kita miliki?"
Tanpa pemasukkan dari kita sebagai rakyat Indonesia sendiri, darimana lagi pemerintah akan dapat membiayai belanja negara ini?
Maka bila kita protes mengapa negeri ini berhutang ke luar negeri secara terus menerus, sudah selayaknya kita bercermin, "Sudahkah kita membayar pajak sesuai kewajiban yang kita miliki?"
Tanpa pemasukkan dari kita sebagai rakyat Indonesia sendiri, darimana lagi pemerintah akan dapat membiayai belanja negara ini?
Sama halnya bila kita menemukan jalan
raya yang rusak, transportasi umum yang tak laik, serta PNS yang hanya rajin
membolos, sudah sepatutnya kita berefleksi,
"Apakah ini terjadi karena uang pajak yang kita berikan tidak dikelola dengan baik oleh mereka, para eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden) dan para legislatif (Anggota DPRD, DPR, DPD), yang notabene diangkat oleh kita yang memilih mereka ketika Pemilihan Umum (Pemilu)?"
"Apakah ini terjadi karena uang pajak yang kita berikan tidak dikelola dengan baik oleh mereka, para eksekutif (Walikota, Bupati, Gubernur, Presiden) dan para legislatif (Anggota DPRD, DPR, DPD), yang notabene diangkat oleh kita yang memilih mereka ketika Pemilihan Umum (Pemilu)?"
Apakah jangan-jangan mereka bisa
terpilih karena keteledoran kita dalam mencoblos surat suara? Ataukah ini
terjadi karena kita masa bodoh dengan hak suara kita (baca: golput), sehingga
kans mereka untuk terpilih menjadi semakin besar?
Ketika kita melihat calon-calon eksekutif dan legislatif yang berhati mulia berseliweran membawa perubahan ke arah Indonesia yang lebih baik, apakah kita yakin kita telah mendukung mereka sekuat hati, sebisa yang kita mampu lakukan? Ataukah kita hanya sebatas mengagumi dalam hati, berdiam diri tanpa memberikan dukungan konkret apapun sambil berharap orang baik yang lain yang akan mendukung mereka?
Apakah kita rela melihat mereka kalah
ditelan oleh mereka-mereka segelintir oknum jahat yang telah lama memperoleh
kekuasaan eksekutif dan legislatif tanpa menghadirkan perubahan berarti bagi
bangsa kita?
Saya sungguh yakin, Indonesia
tidak pernah kekurangan orang berhati
baik.
Akan tetapi, suara mereka yang berhati baik ini kalah dengan kebisingan yang didengungkan oleh segelintir orang jahat!
Akan tetapi, suara mereka yang berhati baik ini kalah dengan kebisingan yang didengungkan oleh segelintir orang jahat!
Kita selalu merasa, jumlah orang jahat di Indonesia
lebih
banyak daripada orang baik, padahal saya sungguh yakin itu hanya sebatas perasaan
semu saja, karena harus kita sadari pada kenyataannya orang baik lebih
banyak hanya berdiam
diri ketika dihadapkan dengan mereka orang
jahat yang lantang berkoar-koar.
Orang baik cenderung bersikap tidak ingin mencari musuh, sehingga
hanya diam saja ketika orang
jahat mengobrak-abrik bangsa ini. Akibatnya, timbul perasaan seolah jumlah
orang jahat lebih banyak dibanding orang
baik,
meskipun saya yakin yang jahat hanya terlihat lebih banyak karena mereka
jauh
lebih berisik dibandingkan kita orang baik
yang jauh lebih banyak jumlahnya namun hanya bisa diam.
Saya harap, orang-orang baik ini mampu bangkit dan ambil
sikap serta proaktif mendukung orang-orang baik, para calon eksekutif dan
legislatif yang membawa perubahan yang nyata, demi kebangkitan bangsa ini.
BANGSA ini TIDAK AKAN MAJU, selama orang BAIK hanya DIAM berpangku tangan saja, membiarkan ORANG JAHAT merajalela membuat KEBISINGAN yang destruktif bagi bangsa ini.
BANGSA ini TIDAK AKAN MAJU, selama orang BAIK hanya DIAM berpangku tangan saja, membiarkan ORANG JAHAT merajalela membuat KEBISINGAN yang destruktif bagi bangsa ini.
Renungan di kala sunyi,
Sendai, 11 Maret 2016.
Supersemar Indonesia yang masih menjadi misteri.
Timur laut Jepang yang telah bangkit dari tsunami.
Sendai, 11 Maret 2016.
Supersemar Indonesia yang masih menjadi misteri.
Timur laut Jepang yang telah bangkit dari tsunami.
No comments:
Post a Comment
Share Me Your Ideas..!